
"..Pulang ke kotamu
Ada setangkup haru dalam rindu
Masih seperti dulu
Tiap sudut menyapaku bersahabat, penuh selaksa makna .."
Ada setangkup haru dalam rindu
Masih seperti dulu
Tiap sudut menyapaku bersahabat, penuh selaksa makna .."
blogkmp.net - Petikan bait lagu Yogyakarta yang dipopulerkan oleh Kla Project diatas sangat apik menggambarkan suasana kota Yogyakarta yang begitu syahdu, ramah, dan selalu membuat rindu siapa saja untuk kembali mengunjunginya.
Jika kita flash back 10 - 15 tahun ke belakang, kita masih bisa menemukan suasana Jogja yang tidak jauh beda dengan gambaran yang ada pada lagu tadi.
Suasana Kota Jogja yang tenang dan ramah, biaya hidup yang murah, becak dan andong yang mudah ditemui di jalanan kota Jogja dan memberi warna khas kota pelajar ini, dan sebagainya.
Tahun-tahun berselang, wajah kota Jogja makin hari makin berubah suram. Saat ini jumlah becak dan andong di jalanan sudah jauh berkurang.
Jalur-jalur protokol di Kota Jogja makin padat dengan kendaraan bermotor. Jumlah pengguna sepeda motor dan mobil pribadi melonjak tajam.
Selain lalu lintas yang makin padat dan macet dimana-mana, makin menjamurnya gedung-gedung apartemen dan hotel baru juga turut andil membuat kota Jogja terlihat semakin sumpek dan jauh dari kesan nyaman.
Satu lagi masalah baru yang membuat warga Jogja harus belajar beradaptasi yaitu banjir.
Hampir setiap hujan lebat turun, sejumlah kawasan di Kota Jogja dipastikan tergenang air, bahkan tidak terkecuali di daerah yang sebelumnya tidak pernah banjir.
Kotagede adalah salah satu kawasan yang menjadi langganan banjir setiap hujan turun meskipun genangan air tidak berlangsung lama.
Ditambah lagi masalah moral seperti maraknya kriminalitas, tawuran pelajar, tawuran supporter, tawuran antar simpatisan parpol, dan sebagainya makin mengaburkan wajah humanis kota Jogja. Jogja kehilangan jati dirinya.
Jogja sedang membutuhkan perhatian serius. Perlu perbaikan di berbagai lini untuk mengembalikan Jogja menjadi Jogja yang semestinya.
Pemerintah (Pemprov) perlu mengkaji kembali perizinan pembangunan hotel, apartemen yang semakin menggila dan berdampak pada timbulnya kemacetan akibat ketiadaannya lahan parkir yang memadai, serta banjir yang diakibatkan semakin sempitnya areal resapan air.
Jangan sampai nafsu untuk meningkatkan pendapatan daerah dari sektor pariwisata justru malah merusak dan membuat Jogja tidak lagi layak disebut sebagai kota wisata.
Pembangunan sarana penunjang pariwisata perlu juga memperhatikan dampak lingkungan yang mungkin diakibatkan olehnya.
Kesadaran masyarakat juga perlu dibangkitkan. Yang katanya orang Jogja ramah, halus, sopan, dan bersahabat, sudah saatnya untuk ditunjukkan dan dibuktikan lagi dalam tindakan nyata.
Fanatisme sempit terhadap golongan tertentu seperti almamater sekolah, parpol, klub sepak bola, atau kelompok-kelompok lain musti disalurkan dalam jalur positif.
Tidak ada gunanya menurunkan kebencian generas ke generasi terhadap kelompok lain. Rivalitas negatif sama sekali tidak berguna dan hanya menampakkan kebodohan.
Semangat, energi, serta kreatifitas anak muda perlu diarahkan di jalur yang tepat melalui berbagai kegiatan organisasi, olahraga, maupun seni.
Tanpa adanya kesadaran dan sinergi dari semua pihak di berbagai level, bukan tidak mungkin Jogja yang dulu kita kenal lambat laun hanya tinggal kenangan, dan semua kesumpekan ini menjadikan Jogja makin mirip dengan Jakarta. Bedanya, Jogja adalah Jakarta yang berandong.
Tinggalkan komentar ya, supaya kami bisa terus meningkatkan kualitas tulisan dan informasi di blog ini. EmoticonEmoticon