Mata
saya masih terus saja memandang kaos hitam buatan pertengahan dekade 2000-an itu.
Bukan kaos itu yang mengusik pikiran saya, tapi sebuah kalimat di kaos
tersebut, sebuah kalimat yang muncul secara spontan pada waktu itu ketika saya
dan teman-teman sedang berembug untuk
membuat desain kaos kembaran untuk
keluarga besar Komariyah Masjid Perak. “ DARI SINI SEGALANYA MUNGKIN ” ya
kalimat sederhana itu yang tercetak pada kaos tersebut, dan sekarang setelah kaki
saya mengarungi waktu jauh meninggalkan waktu dimana senyum kepuasan kami
setelah kaos itu selesai diproduksi dan
mulai berpindah ke lemari baju rekan-rekan keluarga besar Komariyah Masjid
Perak, kalimat di kaos tersebut saya
rasa menjadi sebuah kalimat yang luar biasa, bukan lagi sebuah kalimat yang
hanya jadi pemanis desain kaos hitam yang tergantung itu.
Pikiran
saya yang masih dangkal ini mulai meretas kedalam ingatan-ingatan lama dan
mulai merajut keterhubungan antara kalimat luar biasa itu dengan semangat hidup
orang-orang “hebat” yang pernah saya jumpai ini.
Pertengahan
tahun 2009 ketika saya sedang ditugaskan di pedalaman pulau Papua, secara tidak
sengaja saya bertemu seorang bapak yang sedang membersihkan ladangnya. Cuaca
ketika itu sedang panas-panasnya, dan saya menumpang berteduh di gubuk beliau
untuk sekedar melepas penat. Bapak itu yang sepertinya sudah selesai dengan pekerjaanya
mulai menghampiri saya, dan mulailah terjadi obrolan ringan. Awalnya hanya
obrolan biasa dan sampai akhirnya saya yang merasa penasaran dengan beliau yang
bisa bertahan di tempat yang menurut saya seterpencil
ini. Saya ajukan pertanyaan kepada beliau , pertanyaan yang belum pernah saya
alami selama tinggal di Yogyakarta.
Waktu
itu saya bertanya , “Bapak kalau misalnya
harus memilih tinggal di Papua atau tinggal di Jawa, Bapak pilih tinggal dimana
?” , beliau dengan mantab menjawab “
saya tetap pilih tinggal di Papua nak”. Saya yang ingin tahu alas an beliau
lalu meneruskan bertanya , “ Pak disini
itu biaya hidup mahal, beli telur 1 butir saja Rp 8.000 , beli bensin Rp
25.000/liter , apa nggak berat hidup seperti itu Pak ?”
Bapak
itu menerawang memandang awan yang bergerak di angkasa dan sejurus kemudian memandang
saya dan mulai berkata, “nak, kehidupan
ini berat atau tidaknya tergantung kita menjalaninya. Jika kita niat dan
bepikir bahwa kita bisa menjalaninya pasti akan mudah bagi kita untuk
melaluinya. Di dunia ini tidak ada yang tidak mungkin, dulu saya berpikir ,
saya harus berusaha membuat ladang ini menjadi sumber kehidupan bagi saya dan keluarga saya, dan lihatlah nak ,
sekarang benar terjadi, dari ladang ini anak saya bisa melanjutkan pendidikan
S1 di Jayapura. Semua itu karena tekad ,
bahwa semua mungkin terjadi”.
Mendengar
itu seketika saya merasa “kecil” dibandingkan beliau, Bapak yang hidup di
daerah terpencil ini bisa begitu kuat menjalani hidup yang saya rasa berat ini,
sedangkan saya yang tinggal di Jawa yang notabene harga-harga masih lebih murah
bila dibandingkan di Papua, sering merasa berat bahkan mengeluh ketika BBM
dinaikan barang seribu rupiah. Akhirnya setelah melanjutkan perbincangan dan
cuaca mulai terasa bersahabat, saya mohon diri untuk melanjutkan perjalanan.
Dari gubuk di tempat seperti ini saya mendapat wejangan hidup yang luar biasa.
Perjanan
berlanjut, dan pada penghabisan taun 2010 kaki ini melangkah di Pulau Wetar,
pulau kecil yang mungkin tidak tergambar di peta skala besar. Perjalanan melelahkan
18 jam dari Kupang, NTT melewati laut Sawu terbayar sudah ketika kapal
Pangrango mulai merapat di dermaga Ilwaki, ibukota kecamatan Wetar.
Pemandangan
yang masih alami seketika mengobati mata yang kelelahan karena kurang
beristirahat. Berminggu-minggu tinggal di pulau ini, saya mulai sering bertemu
dan srawung dengan orang-orang yang
tinggal di pulau ini, sekedar mengobrol untuk membunuh kebosanan atau melempar
kail memancing bersama mereka.
Hingga
pada suatu sore saya bertemu dengan seorang bapak yang sedang sama-sama
memancing. Joran bapak itu melengkung tanda ada ikan yang memakan umpannya, dengan
sigap bapak itu menariknya dan tanpa perlu waktu lama seekor ikan besar sudah
naik ke permukaan. Tak berselang lama bapak itu berucap “ Alhamdulillah” tanda
syukur atas karunia ikan yang beliau dapat, saya kaget , ya saya kaget karena
di pulau ini baru pertama kali saya
mendengar ucapan tersebut diucapkan penduduk pribumi. Dalam hati saya yakin bapak ini pasti seorang
muslim, tapi untuk memastikan saya ingin mencoba bertanya kepada beliau.
Ditengah
obrolan ringan yang keluar sambil menunggu umpan kita dimakan ikan-ikan yang
mondar-mandir di bawah perairan selat
Wetar itu saya ingin menuntaskan rasa penasaran saya, mulailah saya bertanya “tadi saya dengar bapak berucap
Alhamdulillah, maaf Bapak ini muslim ya ?” , beliau tersenyum dan berkata “adik heran ya, tidak menyangka ada
penduduk muslim di pulau ini. Ya benar
Alhamdulillah saya muslim dik, keluarga saya satu-satunya muslim di pulau ini”.
Karena sudah yakin bahwa beliau muslim saya pun melanjutkan bertanya , “Pak, disini keluarga bapak bisa dibilang
minoritas, selama saya disini belum pernah saya melihat masjid atau surau.
Pasti berat menjalaninya ya , apalagi waktu bulan Ramadhan, hanya keluarga
bapak yang menjalani ibadah puasa?” beliau tersenyum lagi dan dengan senang
hati menjawab, “dik, kita beriman itu
niat karena ingin beribadah kepada Allah Ta’ala , kalau kita yakin dengan iman
ini niscaya akan diberi kemudahan. Kalau masalah berat atau tidaknya tergantung
kitanya yang menjalani. Kalau kita berpikir dan yakin bahwa kita bisa mudah
menjalaninya pasti mudah dik, apa yang tidak mungkin untuk Allah SWT, ketika
Allah ingin mempermudah jalan hambaNya pastilah dipermudah. Yang pentingkita
selalu berdo’a, ikhtiar, kalau kita yakin pastilah Allah SWT memberi jalanNya
yang memudahkan kita”.
Ketika
beliau selesai memberi penjelasannya, saya merasa seperti ditikam sembilu, saya
yang di kampung halaman masih diberi kemudahan dalam hal waktu dan sarana untuk
beribadah dan berkumpul dengan orang-orang seiman masih saja kadang belum
sempurna menjalankan keimanan ini, sedangkan beliau dan keluarganya dengan
segala keterbatasan masih bisa dengan teguh menjalankan keimanannya, dan
kata-kata bapak itu seperti pukulan telak yang membuat saya KO.
Musim
dingin akhir tahun 2013 ini sepertinya bisa membuat tulang-tulang tropisku
menggigil ngilu menahan suhu 5°C yang belum pernah aku alami di kampung
halaman. Memang belum ada salju, tapi rasa dinginnya mengalahkan dingin ketika
dulu saya masih sering melangkahkan kaki di puncak-puncak gunung di pulau Jawa.
Pagi ini matahari belum muncul juga , kutengok jam di pergelangan tangan, sudah
jam 09:00 LT, kulangkahkan kaki menapaki jalan setapak menuju bukit yang tidak
seberapa tinggi itu, sekedar untuk menghangatkan badan.
Setengah
perjalanan, rasa lelah dan badan yang masih menggigil memaksa saya untuk
berhenti sejenak, sambil bersandar di sebuah pohon kuminum teh hangat yang
sudah saya siapkan dari rumah. Saya arahkan pandangan ke ujung jalan setapak
ini, puncak masih jauh, di kejauhan terlihat siluet, menandakan ada seorang yang sedang berjalan
turun. Sambil mengambil nafas yang terdengar putus-putus, saya mengingat
saat-saat dulu ketika masih suka mendaki gunung bersama teman-teman, ah kaki
ini sudah tak sekuat dulu.
Ditengah
lamunan nostalgia, sebuah sapaan menyadarkan saya dari lamunan, “Sabaee dee” (semacam sapaan hallo, apa
kabar –red ) suara seorang ibu menyapa saya , setengah terkejut langsung saya
membalas “Sabaee dee too sau mek”,
Ibu itu tersenyum dan lalu ikut beristirahat di bawah pohon bersama saya, dalam hati saya berpikir cepat sekali
ibu ini berjalan, kuperkirakan umur ibu ini hampir 70 tahunan. Ibu itu kemudian
meletakan potongan kayu bakar yang dari tadi dipikulnya, “banyak benar kayu yang ibu bawa ini” kata saya dalam hati, kalau
saya disuruh mengangkat kayu itu dari puncak bukit, mungkin 1 hari 1 malam baru
bisa sampai di tempat ini.
Setelah
ibu itu duduk saya tawarkan air mineral yang belum sempat saya buka, ibu itu
menerima sambil tersenyum dan berkata “khorb
jai” (terimakasih –red). Dengan perbendaharaan kata bahasa lokal yang bisa
dibilang masih kategori dasar, saya mulai membuka percakapan dengan ibu itu.
Saya merasa salut dengan semangat beliau, akhirnya mulailah saya bertanya, dari bertanya basa-basi ambil kayu dimana?,
untuk apa?, pertanyaan yang sudah saya tahu jawabannya, saya sudah tahu kalau mengambilnya di puncak
bukit, dan pastinya untuk kayu bakar, karena minyak tanah disini harganya selangit tanpa ada subsidi, apalagi
konversi ke LPG, ya sekedar basa-basi untuk memulai percakapan. Hingga akhirnya
saya ajukan pertanyaan yang menjadi inti rasa salut saya kepada beliau, “Ibu kok masih kuat membawa kayu seberat
itu, saya saja mungkin tidak kuat kok Bu membawanya?” ibu itu tertawa dan
berujar dengan pelan karena tahu saya tidak bisa memahami kalau beliau
berbicara dengan cepat “Kalau bukan saya
yang mencari kayu, terus bagaimana saya mau memasak. Suami saya sakit, saya
tidak punya anak” Saya memahami
maksud beliau, dan meneruskan “Tapi kayu
itu berat kan Bu?” beliau langsung
menjawab dengan mimik serius “Benar kayu
itu berat, kalau tidak percaya silakan coba angkat. Tapi kenapa saya bisa
merasa ringan memikulnya, karena ini ( ibu itu menunjuk kepalanya ), pikiran
saya yang bilang kalau kayu itu ringan, ketika pikiran sudah berkata ringan
maka tubuh ini merasakan seperti apa yang di perintahkan oleh pikiran, Indo
(orang lokal kalau memanggil saya Indo –red) paham maksud saya?” Saya
meresapi setiap kalimat ibu itu dan mencoba memahami kata-kata hebat ini. “Khorb jai, saya mengerti Bu”
Sebagian
pelajaran yang pernah saya jumpai tersebut mulai menemukan hubungan dengan
kalimat hebat di kaos hitam yang tergantung itu, The Power of Dari Sini
Segalanya Mungkin, ya kekuatan keyakinan kita yang akan mempermudah jalan kita
untuk melewati segala permasalahan yang kita hadapi. Ketika kita bepikir postif
akan segala permasalahan, dan berpikir untuk membuatnya mudah untuk dihadapi,
maka pikiran akan mengirimkan getaran positif tersebut kepada alam, dan atas seijin
Allah Ta’ala alam akan mengembalikan getaran positif itu ke dalam tubuh dan
pikiran kita. Oleh karena itu, selalu berpikir positiflah atas segala
permasalahan , selalu berikhtiar , dan tak lupa berdo’a memohon kepada Allah
SWT untuk dipermudah dalam segala urusan di dunia. So, di dunia ini semuanya bisa mungkin terjadi, tinggal kita yang
membuatnya untuk menjadi mudah atau sulit,
jangan hanya jadikan kalimat di kaos hitam itu sebagai sebuah pemanis
desain, tapi jadikan semangat kebangkitanmu. DARI SINI SEGALANYA
MUNGKIN………………………..
Wassalam,
Vientiane
Capital, June 19 2014
Penulis : Rangga (mantan pengasuh KMP yang karena pekerjaannya di pertambangan menjadikannya sering berpetualang dari pelosok ke pelosok di dalam dan luar negeri)
Penulis : Rangga (mantan pengasuh KMP yang karena pekerjaannya di pertambangan menjadikannya sering berpetualang dari pelosok ke pelosok di dalam dan luar negeri)
Tinggalkan komentar ya, supaya kami bisa terus meningkatkan kualitas tulisan dan informasi di blog ini. EmoticonEmoticon